Dia sudah menjadi inspirasi saya sejak SMP untuk saya mencintai fisika. Dia salah satu peraih medali perak OSN Fisika Nasional saat itu. Dan dia yang pertama menyapa saya sewaktu hari pertama masuk kuliah kedokteran. Tetapi kemudian di akhir-akhir tahun preklinik hingga saya koass hilang kabarnya, dan ternyata setelah mendengar dari beberapa teman kelasnya, dia sudah memutuskan untuk berhenti--benar-benar berhenti dari dunia kedokteran.
4 bulan terakhir ini banar-benar waktu yang berat menurut saya, di saat saya merasa sebagai seseorang yang terlahir SALAH karena saya harus mengalah dengan terapi dan menerima diagnosis itu. Tapi dia, yang telah didiagnosis hal yang sama dengan saya sejak 3 tahun yang lalu dan akhirnya mengambil keputusan yang sangat berani (meskipun sebenarnya saya sedih, karena tidak ada teman-teman dekatnya yang membantunya dalam masa sulit itu) akhirnya menjadi inspirasi saya lagi, untuk bangkit lagi.
Dia mengirimkan saya tulisan tentang masa-masa kelabu itu.
Tuan, perasaan sedih pasti kita alami. Saya tidak banyak menceritakan turbulensi yang menimpa saya kepada siapapun. Tapi saya ingin berbagi luka, biar kita bisa bertahan melewati malam-malam kesedihan yang rasanya begitu lama.
Saya ingat itu, akhir tahun 2016 adalah kejatuhan saya. Depresi mayor, hubungan dengan orang tua memburuk, tugas kuliah menumpuk dan trauma-trauma masa lalu datang silih berganti, tiap malam memburu, jiwa ini membiru. Saya sangat membenci diri saya. Insomnia adalah sahabat setia.
Perasaan tidak berguna dan tidak memiliki siapa-siapa. Sangat sulit mengungkapkan ke orang lain, meminta pertolongan, jika yang sakit pada dirimu, tak bisa ia lihat. Jika kita bronchitis, ada gejala-gejala seperti batuk demam, begitu juga saat patah tulang--nyeri hingga gambaran fisik tidak ada yang salah. Tidak ada perlukaan di sekujur tubuh. Tidak ada yang langsung terlihat dan membuat orang-orang di sekeliling ku sadar bahwa aku sedang sakit. Semua tersimpan di bawah topeng rutinitas.
Saya bangga dan mendukung Tuan apabila berterus terang bahwa saat ini mengalami depresi atau gangguan mental lainnya. Langkah awal yang berani bisa mencegah hal-hal buruk terjadi. Ketika saya dalam bayang-bayang itu, ketakutan masih merajalela dan perasaan ingin terlihat sempurna: mengaburkan penentuan keputusan. Semakin kau tolak, ia semakin besar. Tak pernah lampus, di situ saja ia berkumpul: bertumpuk terus-menerus. Hingga akhirnya saya memaksa diri mengungkapkan semuanya ke seorang kakak yang saya pertimbangkan akan paham dengan latar belakangnya sebagai dokter. Kemudian, atas inisiatif sendiri, saya menemui psikiater, lalu psikolog. Satu hal yang saya syukuri berkuliah di kedokteran adalah saat itu; dosen-dosen saya di blok neuropsikiatri selalu menanamkan untuk segera mencari bantuan profesional dan mengakhiri stigma. Orang dengan gangguan jiwa sering disebut gila, padahal kata ini begitu kejam dan pretensi menghakimi. Idiot, autis, dan gila adalah tiga kata yang selalu menjadi bumbu-bumbu dalam serapah dan lelucon kita. Sayangnya ketiga kata itu juga sering kita lekatkan pada ODGJ. Sehingga menyebabkan penderita dan keluarganya malu, menyalahkan diri, putus asa, dan enggan mencari bantuan. Ujung-ujungnya pemasungan. Silang pendapat biasa disaksikan di layar TV; mengapa seseorang begitu entengnya melabeli lawan debatnya yang memiliki pnadangan bersebrangan dengan sebutan "kamu gangguan mental!" Ya, stigma itu harus tercerabut dari akar-akarnya: dengan cangkul pengetahuan dan keberadaanmu sebagai manusia. Kita semua menghadapi keadaan stress. Siapa pun berpotensi mengalami gangguan mental, berat atau ringan. Jika hal itu mulai menghambatmu beraktivitas, segera periksakan diri ke fasilitas kesehatan.
Saat itu, saya begitu kecewa dengan teman-teman saya. Tak seorang pun yang mengulurkan tangan, kendati mereka tahu saya sudah tidak masuk kuliah seminggu lamanya. Di fakultas kami, perubahan demikian begitu mencolok. Namun ketika menghadiri kuliah lagi, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Beberapa hanya sekedar ingin tahu apa yang kulakukan selama itu. Bahkan ada yang membercandai "Kukira kau sudah menggantung diri." Tidak ada apa-apa yang bisa kulakukan selain memasang senyum saja (to be honest, my favourite word at the time was the big F.) Ketika sendiri lagi, saya hanya bisa menangis dan menyesali diri. ("Laki-laki tidak boleh menangis." Tuan, mereka tidak tahu bahwa menangis adalah salah satu mekanisme pertahanan diri yang mampu melepaskan hormon kebahagiaan dan mengaktivasi sistem neuron parasimpatik, hal yang memberikan efek santuy. Sampai kapan menelan mentah anjuran yang sudah lapuk?) Maafkan saya, tapi keadaan itu benar-benar menampar saya. Tapi saya berharap Tuan dikelilingi oleh teman-teman yang ringan tangan dan lebih berempati. Menurut saya, jika telah terpuruk oleh gangguan depresi, kita tidak hanya membutuhkan teman pendengar keluh-kesah, tetapi juga uluran tangan yang nyata. Ada yang salah padamu, bukan karena kau jauh dari Tuhan atau kesurupan jin, tetapi otakmu sedang menderita, apakah itu di tingkat gen, ketidakseimbangan proses kimiawi neurotransmitter, sel-sel mu yang bekerja di ruang kendali mood (suasana hati) butuh perawatan, atau jangan-jangan masalah dan orang-orang yang kau hadapi memang kutukan yang memuakkan.
....
Di hari yang lain, dia mengirimkan chat pada saya lewat instagram saya.
Saya jujur ke teman-teman saya mengenai kondisi mental saya. Di depan saya mereka seakan-akan mendukung sehingga saya senang, tapi akhirnya saya tahu, dalam grup kecil mereka memperolok-olok saya, yang paling menyedihkan mereka menganggap saya sebagai psikopat. Ternyata kebenaran itu bisa sepahit itu. Tapi lebih baik kita tahu di atas apapun. Sepertinya, jika kau laki-laki di Indonesia, mental yang sakit tidak dianggap serius. Kalo ada uang dan kesempatan saya akan pindah.
Saya belajar dari itu. Banyak hal, Disa. Misalnya, tentang edukasi mental issue. Ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan. Jika suatu kelompok tidak interest, maka itu tidak akan pernah dianggap penting. Kecerdasan individu akan kalah dengan pilihan kesadaran kolektif, berlaku pada orang-orang yang ignorance. Dan parahnya jika nilai-nilai itu terserap ke dalam kelompok tanpa kritik.
Saya sangat sedih membacanya. Beberapa saat kemudian, dia mengirimkan chat lagi.
Saya tidak tahu sebut apa, sedih bercampur baur dengan rasa bersalah, marah, kasihan. Kesadaran yang muncul, saya tidak boleh mengandalkan orang-orang yang selama ini saya anggap dekat sebagai teman itu. Saya tidak akan memutuskan tali silaturahmi, cuma selanjutnya akan lebih berhati-hati dan mungkin saya akan belajar buku-buku how to blend it, yang sekedar siapa tau ada info penting yang bisa saya dapat dari mereka, tapi untuk hubungan friendship ideal ala Sokrates tidak akan saya usahakan lagi. Haha
Sepertinya kita harus siap menjadi diri kita seorang diri. Salah seorang dari mereka bilang, "kita tidak ada apa-apanya tanpa teman." Tapi seorang lagi di lain kesempatan bilang, "...bukan tidak menjadi apa-apa, tapi kita jadi tahu siapa diri kita sebenarnya." Tujuan jangka pendek saya saat ini, menguatkan mental saya. Yang saya alami bersama mereka bisa dianggap latihan atau senam, semoga otot-otot mentalku semakin kokoh.
Saya bisa merasakan tidak ada lagi kehangatan dalam tulisannya. Saya bisa merasakan betapa dia akan membangun sebuah wall besar terhadap dirinya dari orang-orang sekitarnya. Saya bisa merasakan betapa dia akan lebih memilih kedamaian dan ketenangan diri dengan memutuskan kontak sama sekali dari dunia luar.
***
Inspirasi saya yang kedua adalah dia. Seseorang yang pertama kali dipertemukan dengan saya semenjak SMP saat mendapat penghargaan dari Walikota Makassar untuk nilai UN tertinggi se-Makassar saat itu. Kemudian saya dipertemukan lagi dengannya di SMA yang sama, dan fakultas yang sama, meskipun dia masuk 1 tahun setelah saya. Terakhir kali masa-masa perkoas-an saya dipertemukan dengannya saat dia di departemen Anak, dan setelah itu hilang kabarnya, hingga sebulan yang lalu kami akhirnya bertukar kabar lewat medsos dan kemarin dipertemukan kembali dalam sebuah pameran buku. Betapa bahagianya saya, melihat perubahannya yang telah memakai niqab dan jilbab hitam panjang.
Kami akhirnya kontrol di poli psikiatri bersama. Meskipun hanya bersama seorang residen, tapi itu adalah sesi psikoterapi yang menurut saya sangat memuaskan bagi saya. Hal yang paling berkesan menurut saya adalah—bagaimana mendengar ceritanya, bahwa dia, yang telah mengambil keputusan yang sangat berani—tidak kembali ke dunia per-koassan dan memilih mengikuti panggilan hatinya menjadi seorang guru.
“Setiap orang memiliki lokus minoris nya masing-masing. Ada yang setelah 30 tahun, jantungnya yang bermasalah. Ada yang setelah 30 tahun, ginjalnya yang rusak, sehingga harus dihemodialisa. Ada yang setelah 30 tahun, depresi, karena amygdala di otaknya yang bermasalah. Dan semua itu hanya penyakit biasa. Bukan sesuatu yang mendefinisikan diri kita, jiwa kita. Jiwa kita jauh lebih luas daripada itu. Maka, janganlah kita men-STIGMA diri terlalu berat.
"Saat serotonine turun, norepinephrine turun, bahkan dopamine turun juga, bagaiman kita bisa fokus belajar? Dan saat kita melakukan sesuatu yang tidak begitu kita sukai, dopamine akan semakin turun, bukan semakin naik. Maka cara kita untuk coping adalah dengan melakukan hal yang kita sukai, dengan mengisi jiwa kita. Semua hal baik yang kita lakukan sekecil apapun, misalnya kita mungkin mengisi jiwa kita dengan spiritual, dengan menghasilkan suatu karya misalnya dengan melukis, atau bahkan sekedar bertemu teman dan bercerita hingga tertawa bersama, semua itu mengisi kembali jiwa kita, maka dopamine akan naik.
"Pernahkah kita sangat cinta dengan seseorang? Nah, coba cintai diri sendiri dulu sebesar rasa cinta kita dengan orang itu. Sudah waktunya kita melihat ke dalam diri kita dulu, sudah waktunya kita sayangi dan urus diri sendiri dulu. Bagaimana kita mau mencintai orang lain jika kita sendiri tidak mencintai diri kita? Cintai jiwa kita. Untuk apa kita melakukan sesuatu yang akan membuat jiwa kita sampai harus dikorbankan? Saya, sekarang sedang berbicara sama kamu, artinya jiwa saya yang berbicara dengan jiwamu. Bukan sama badan biologis atau tubuhmu. Kita berkumpul di sini, jiwa kita yang berbicara. Sulit lho, untuk melihat jiwa itu. Kita sampai harus melewati pencucian seperti ini dulu, ujian seperti ini dulu."
***
Inspirasi saya yang ketiga adalah dia.
Sosok yang sangat menginspirasi dan saya selalu iri dengan gairah belajarnya semenjak sekelompok dengannya saat di Obgin. Sosok yang selalu muncul chat nya hampir tiap hari saat saya sedang melewati fase depresi terberat itu. Sosok yang tiap hari bertanya, "Disa, how are you? How's life? Are you okay?" Sosok yang bisa bertahan dengan kerasnya kehidupan preklinik dan klinik di kedokteran meskipun harus mengonsumsi 50 mg amitriptilin tiap hari di fase-fase depresinya. Sosok yang membuat saya merasa sangat related dengannya. Sosok yang bahkan saya tidak perlu berbicara dengannya dia sudah tahu apa yang ada dalam pikiran saya.
***
Hidup dengan bipolar disorder memang tidak mudah. Jangankan pergi bekerja dan beraktivitas layaknya orang normal. Saat fase depresi itu datang, bangun dari tempat tidur pun kita harus berkelahi dengan diri sendiri. Butuh effort yang besar. Mungkin itulah yang mereka, dokter psikiatri sebut hendaya berat. Ketidakmampuan. Namun ada suatu masa di mana kita terbangun dengan sangat bergairah, sangat bersemangat, saking bersemangatnya hingga kita tidak butuh tidur. Kita bisa tetap terbangun dan fully energized .
Hidup dengan bipolar disorder memang tidak mudah. Ada suatu masa ketika kita terbangun dalam keadaan emotionless, numb. Kita tidak bisa merasakan apa-apa. Hampa. Perasaan worthless. Tidak berharga. Tidak berguna. Sangat hina. Dan perasaan lebih baik mati yang begitu besar. Tidak lapar. Tidak ingin makan sama sekali. Tidak ingin bicara dengan siapapun. Ingin sendiri saja. Membangun wall besar dengan dunia luar. Tidak ingin dihubungi siapapun. Namun ada suatu masa di mana kita terbangun dengan penuh percaya diri. Bersemangat. Hyper excited. Hyper energetic. Ingin melakukan apa saja yang bisa dilakukan. Tidak bisa diam bertempat di satu tempat saja. Rasanya kepala ini penuh dengan bermacam ide. Milliaran mimpi yang cemerlang. Mungkin itu yang mereka sebut racing thoughts.
Hidup dengan bipolar disorder sangat tidak mudah. Tetapi, setelah sekian lama saya menjalani terapi, medikasi, semuanya menjadi mungkin kembali. Saya bisa bangun dari tempat tidur lagi. Saya bisa beraktivitas layaknya orang normal, meskipun semuanya terjadi secara bertahap. Saya bisa merasakan gairah hidup lagi. Nafsu makan saya mulai membaik. Saya sudah bisa makan lagi. Saya bisa merasakan perasaan yang normal lagi. Saya bisa menerima nasehat-nasehat tentang agama lagi. Saya bisa beribadah lebih khusyuk lagi. Saya merasa perlahan-lahan menjadi orang normal lagi.
Dan saya sangat bersyukur telah dipertemukan dengan mereka. Mereka yang menginspirasi saya. Orang-orang yang bisa, merasakan berbagai macam emosi dengan sangat dalam. Orang-orang yang memiliki kemampuan untuk merasakan emosi orang lain hanya dengan membaca wajah-wajah mereka. Orang-orang, yang tertawa dan berbicara, dengan frekuensi yang sama dengan saya. Orang-orang, yang beresonansi dan terkoneksi dengan kehidupan saya. Mereka, yang secara tidak langsung mengatakan, "You are not alone. We are vibrating in the same frequency."
And I don't want to push away those beautiful person from my life, just because of the STIGMA.